Mengenali Potensi Konflik
Posted Wed, 28/09/2011 - 16:28 by Ivan Hadar
Sewaktu Ambon rusuh, saya mendapat kiriman SMS yang berasal dari mantan Wali Kota Ambon. Isinya kurang lebih sebagai berikut: “...terjadi pembakaran rumah di dua lokasi perbatasan..., tidak ada gerakan massa di kedua lokasi tersebut, padahal di situ ada pos aparat keamanan yang berjaga-jaga.
Perkembangan ini sama dengan kondisi Ambon pada 1999-2000.Ini adalah cara memancing emosi masyarakat. Ternyata, provokator masih bergerak bebas....” Bila kondisi yang digambarkan benar, ada persoalan dengan aparat keamanan.Karena itu, selain menuntut tanggung jawab Kapolda dan Pangdam, banyak yang berharap agar warga Ambon tidak terprovokasi, mengingat dahsyatnya dampak konflik pada 1999- 2000 yang meluluhlantakkan hampir semua aspek kehidupan bersama.
Mencermati kondisi kejiwaan masyarakat Indonesia, halhal sepele bisa menjadi pemicu konflik yang melebar.Perilaku korup elite politik di pusat dan daerah ikut menambah beban kehidupan masyarakat akibat memburuknya kondisi sosial ekonomi. Solidaritas yang memperkuat toleransi anak bangsa dirusak oleh perilaku tak terpuji para penguasa yang seharusnya menjadi panutan. Meski mungkin banyak yang pesimistis, perbaikan dari semua itu harus berangkat dari pendidikan.
Kurikulum agar anak didik lebih bertambah toleransinya perlu menjadi “pendobrak”untuk membuka wacana tentang perlunya revisi “menu kurikulum”di TanahAir. Selain memberikan penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, pengubahan kurikulum idealnya mempromosikan toleransi, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM.
Perkembangan ini sama dengan kondisi Ambon pada 1999-2000.Ini adalah cara memancing emosi masyarakat. Ternyata, provokator masih bergerak bebas....” Bila kondisi yang digambarkan benar, ada persoalan dengan aparat keamanan.Karena itu, selain menuntut tanggung jawab Kapolda dan Pangdam, banyak yang berharap agar warga Ambon tidak terprovokasi, mengingat dahsyatnya dampak konflik pada 1999- 2000 yang meluluhlantakkan hampir semua aspek kehidupan bersama.
Mencermati kondisi kejiwaan masyarakat Indonesia, halhal sepele bisa menjadi pemicu konflik yang melebar.Perilaku korup elite politik di pusat dan daerah ikut menambah beban kehidupan masyarakat akibat memburuknya kondisi sosial ekonomi. Solidaritas yang memperkuat toleransi anak bangsa dirusak oleh perilaku tak terpuji para penguasa yang seharusnya menjadi panutan. Meski mungkin banyak yang pesimistis, perbaikan dari semua itu harus berangkat dari pendidikan.
Kurikulum agar anak didik lebih bertambah toleransinya perlu menjadi “pendobrak”untuk membuka wacana tentang perlunya revisi “menu kurikulum”di TanahAir. Selain memberikan penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, pengubahan kurikulum idealnya mempromosikan toleransi, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar