jam

Senin, 26 Desember 2011

Problem Gagalnya Negara/Pemerintahan Populer, Akankah Terjadi?

PetaPolitik.com – Resep-resep menangani persoalan kenegaraan di negara manapun di dunia selalu merujuk pada tiga hal penting. Pertama adalah pembangunan ekonomi, kedua adalah pembenahan struktur sosial, dan yang ketiga adalah penegakan hukum.
Problem pemerintahan yang sampai pada tataran pemerintahan yang efektif selalu memperlihatkan kemampuan pemerintahan yang mampu dalam kepemimpinan pemerintahannya, mampu mengembangkan dan membenahi struktur sosial masyarakat sebagai pengampu kepentingan terbesarnya, dan selanjutnya adalah mampu melindungi dan mempertahankan warganegaranya tidak hanya dari perang, tetapi juga dari penyakit dan kemiskinan.
Ketiga hal besar yang harus selalu menjadi acuan dasar dalam membangun sebuah pemerintahan yang efektif, memang tidak bisa ditunjukkan oleh pemerintahan demokratis presiden Republik Indonesia saat ini.
Belakangan segala macam konflik aparat negara versus masayarakat di berbagai daerah muncul ke permukaan karena negara, khususnya pemerintahan yang efektif berkuasa, tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya. Kasus Mesuji di Lampung, Kasus Pembangkanan Sipil Petani Tembakau di Jawa Tengah, Kasus Pendudukan Pelabuhan di BIma, adalah letupan-letupan dari berbagai potensi di pelosok nusantara yang memang tidak pernah berusaha diberi prioritas penanganan dengan selayaknya.
Bagaimana bisa efektif jika hanya dalam persoalan pembenahan infrastruktur jalan raya di ibukota, dalam dua tahun kepemimpinan pemerintahan yang ada saat ini, tidak ada sama sekali tata aturan yang baku untuk diterapkan. Entah itu aturan tentang waktu pembangunan yang hanya merujuk pada periode keharusan menghabiskan anggaran, hingga tata aturan tentang perlindungan terhadap kepentingan publik pengguna infrastruktur yang selalu diabaikan.
JIka hal yang sederhan tidak bisa dilakukan, apalagi dalam hal kompleks semisal membenahi persoalan kepemelikan atas tanah di daerah-daerah yang potensial dengan konflik-konflik antara pengusaha yang punya kuasa terhadap pengolahan hasil hutan atau sumber daya alam lainnya melawan masyarakat yang secara tradisional tinggal dan hidup di daerah-daerah warisan leluhur mereka.
Hasilnya adalah kekerasan yang lebih dahulu subur di kalangan masyarakat yang tidak merasa memiliki hukum sebagai pelindung dan pemberi tata aturan dalam hidup sehari-hari. Ketika persoalan yang menyangkut hajat hidup paling utama dalam hidup mereka harus berhadapan dengan tembok pengusaha pemodal besar yang rakus menguras kekayaan alam dan hanya berlindung pada surat-surat pemberi keabsahan yang berasal dari kemampuan membeli administrasi pemerintahan yang korup, maka “perang” antara penduduk dengan “pengusaha dan penguasa” menjadi tidak bisa dielakkan lagi.
Di sisi lain kehidupan politik yang sebenarnya cukup mewakili keterwakilan dan kebebasan dalam memilih siapa yang layak menjadi penyuara kepentingan masyarakat, memiliki banyak pemangku kepentingan yang tidak peduli dengan realitas keberagaman aspirasi dan lambatnya perubahan budaya politik. Hasilnya adalah khas politik negara berkembang yang memperlihatkan hebatnya kemampuan mengolah fenomena ketidakpuasan terhadap penguasa, ditambah memainkan psikologi sosial demi tercapainya situasi nasional yang “harus” mendekati kekacauan agar gerbong negosiasi pemetik kekuasaan bisa bergerak, maka slogan ketidakpuasan terhadap rejim yang sebenarnya sudah lemah secara kepemimpinan ini dalam beberapa waktu terakhir harus gencar disuarakan. Tidak peduli apakah suasana mendekati kekacauan yang terbangun akan merugikan banyak orang dalam pengertian perlindungan terhadap kepentingan umum, yang penting situasi harus segera berganti berapapun biayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pnya gw

My Blog List

Pengikut

link teman

LINK TEMAN

link yessi

Search