jam

Senin, 26 Desember 2011

RUU Penanganan Konflik Sosial: Langkah Keliru Penanganan Konflik Kamis, 17 November 2011 16:27 | Ditulis oleh ujang firmansyah | | |

Konferensi Pers
No. 023/Siaran Pers/Imparsial/XI/2011

Pada tahun 2011 ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS), yang rencananya akan dimasukan sebagai bagian dari inisiatif DPR RI. Pembentukan RUU PKS ini diharapkan akan menjadi payung regulasi dalam menangani konflik sosial di tengah masyarakat.
IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) memandang, bahwa menangani konflik yang belakangan ini mudah pecah ke arah kekerasan sosial penting dan harus dilakukan. Namun demikian, menangani konflik ini dengan cara membentuk regulasi baru (RUU PKS) bukan jalan keluar. Alih-alih bisa mengatasi konflik, hadirnya regulasi baru ini, sebaliknya, justru berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam penanganan konflik.
Kesan yang muncul bahwa RUU ini ditujukan semata untuk menciptakan stabilitas dan kepentingan pembangunan. Di titik ini, kepentingan mengamankan investasi modal baik asing atau dalam negeri, cenderung yang terlihat. Selain itu, RUU ini juga menunjukkan kesan pemerintah ingin lepas dari tanggungjawab. RUU ini juga mengandung bias sekuritisasi, karena dengan mudahnya Pemda dapat melibatkan TNI dalam penanganan konflik sosial. Padahal pelibatan TNI dalam “operasi militer selain perang” hanya bisa dilakukan atasdasar keputusan otoritas politik negara (Presiden), bukan kepala daerah.
RUU PKS juga potensial menimbulkan masalah baru. Di antaranya berpotensi menimbulkan tumpang tindih fungsi, tugas, dan kewenangan antar instansi pemerintah, baik itu horisontal maupun vertikal; mengabaikan pentingnya penegakan hukum, berotensi menyuburkan impunitas, melanggar hukum tata negara “darurat”, menimbulkan masalah dalam tata hubungan kewenangan antara pusat dan daerah terkait bidang keamanan, mengacaukan tata kelola keamanan negara antara antara TNI-Polri, dan lain-lain.
IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) menilai, meski tidak dipungkiri ada sejumlah kelemahan, keberadaan regulasi yang telah ada, semestinya memadai untuk dijadikan landasan penanganan konflik. Peran setiap instansi, baik itu di tingkat nasional maupun daerah, telah diatur sesuai fungsi, tugas, dan kewenangannya. Hal yang penting adalah adanya sensitifitas terhadap setiap potensi konflik dan sejauhmana setiap instansi ini menjalankan regulasi yang telah ada secara sungguh-sungguh dan maksimal.
Sayangnya, baik pusat maupun pemerintah daerah selama ini terkesan tidak serius dalam menangani konflik, sehingga konflik mudah pecah ke arah kekerasan dan terus berulang, seperti konflik yang dilatari oleh issu keagamaan. Salah satunya peran Polri. Bahkan, alih-alih mencegah, dalam sejumlah kasus polisi acapkali melakukan pembiaran. Di daerah, Pemda tidak jarang menjadi bagian dari konflik dan kerap mengabaikan warga korban konflik.
Dengan demikian, problematika pemanangan konflik selama ini bukan pada aspek regulasi, tetapi implementasi peraturan undang-undang yang sudah ada dan kinerja dari berbagai instansi pemerintah khususnya Polisi, yang selama ini bermasalah.
IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) berpendapat bahwa penanganan konflik sosial sudah semestinya dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif. Mulai dari aspek pencegahan, penanganan, hingga pasca konflik. Hal itu sesungguhnya dapat dilakukan tanpa membentuk regulasi baru. Untuk melakukan itu, yang dibutuhkan saat ini adalah adanya kebijakan politik (Presiden) dan membuat blue print terkait penanganan konflik. Selain itu, maksimalisasi peraturan yang sudah ada dan memperbaiki kinerja dan koordinasi aparat.
Pembentukan regulasi baru (RUU PKS) untuk penanganan konflik dengan demikian tidak diperlukan. Hal itu merupakan langkah keliru dalam penanganan konflik sosial dan hanya akan menimbulkan berbagai permasalahan baru.
Jakarta, 17 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pnya gw

My Blog List

Pengikut

link teman

LINK TEMAN

link yessi

Search